Bagaimana kalau ada yang masih suci saat waktu Zhuhur, namun jam dua siang datang haidh dan ia belum lakukan shalat Zhuhur, apakah shalat Zhuhurnya diqadha’?
Syaikh Abu Malik menjelaskan bahwa jika seorang wanita mendapati haidh mendekati waktu ‘Ashar, namun ia belum melaksanakan shalat Zhuhur, maka ketika suci, ia mesti mengqadha’ shalat tersebut karena ia sudah mendapati waktunya. Kalau sudah mendapati waktunya, maka kewajibannya untuk qadha’. Qadha’ tadi itu ada selama ia berada dalam keadaan suci dengan kadar waktu mendapatkan satu raka’at shalat. Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. ” (QS. An-Nisa’: 103)
Namun, ada pendapat lain dalam masalah ini yaitu tidak ada qadha’ untuk shalat zhuhur tadi. Alasannya, kasus semacam ini ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para wanita ketika itu mendapati haidh pada waktu shalat. Namun tidak ada dalil yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pada wanita yang luput shalatnya setelah suci dari haidh untuk mengqadha’nya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan seperti pendapat terakhir yang dikemukakan di atas,
وَالْأَظْهَرُ فِي الدَّلِيلِ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ أَنَّهَا لَا يَلْزَمُهَا شَيْءٌ ؛ لِأَنَّ الْقَضَاءَ إنَّمَا يَجِبُ بِأَمْرِ جَدِيدٍ وَلَا أَمْرَ هُنَا يَلْزَمُهَا بِالْقَضَاءِ وَلِأَنَّهَا أَخَّرَتْ تَأْخِيرًا جَائِزًا فَهِيَ غَيْرُ مُفْرِطَةٍ . وَأَمَّا النَّائِمُ أَوْ النَّاسِي وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُفْرِطٍ أَيْضًا فَإِنَّ مَا يَفْعَلُهُ لَيْسَ قَضَاءً بَلْ ذَلِكَ وَقْتُ الصَّلَاةِ فِي حَقِّهِ حِينَ يَسْتَيْقِظُ وَيَذْكُرُ
“Pendapat yang paling tepat dalam masalah ini dari dalil madzhab Abu Hanifah dan Malik, tidak ada kewajiban qadha’ sama sekali. Karena qadha’ itu diwajibkan dengan perkara baru. Sedangkan di sini tidak diharuskan diqadha’. Karena menunda shalat seperti itu (bagi wanita, pen.) boleh dan bukan termasuk orang yang menganggap remeh. Adapun orang yang tertidur atau lupa, walau dia bukanlah orang yang menganggap remeh, yang ia lakukan dengan mengerjakan shalat ketika bangun tidur atau ketika ingat bukan disebut qadha’. Yang ia lakukan adalah mengerjakan shalat di waktunya, yaitu mengerjakan ketika ia bangun tidur atau ketika ia ingat. ” (Majmu’ah Al-Fatawa, 23: 335)
Syaikh Abu Malik dalam kitabnya Fiqh As-Sunnah li An-Nisa’ (hlm. 72) menyatakan, “Yang lebih hati-hati shalatnya tetap diqadha’.”
Semoga jadi ilmu yang bermanfaat.
Referensi:
Fiqh As-Sunnah li An-Nisa’. Cetakan tahun 1422 H. Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Penerbit Al-Maktabah At-Tawfiqiyyah.
—
@ DS, Panggang, Gunungkidul, malam Sabtu Pon, 13 Muharram 1438 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal